Selasa, 26 Mei 2009

WANITA MASUK PARLEMEN...?

Oleh : Ustadz abu Anisah bin Lukman al-Atsari

Wanita Tidak Boleh Jadi Pemimpin
Para ulama telah sepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin1 karena jenis kelamin laki-laki adalah syarat untuk memegang jabatan ini2. Dalil tentang masalah ini adalah hadits Abu Bakroh-radhiyallahu'anhu-bahwasanya beliau berkata: “Sungguh Allah telah memberi manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam pada Perang Jamal, setelah hampir saja aku ikut bergabung dengan pasukan Jamal. Ketika Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam mendengar berita bahwa bangsa Persia menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada putri Raja Kisro, beliau bersabda, yang artinya: “Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita” (HR. al-Bukhori: 4425).
Hal itu dikarenakan pemimpin, presiden, raja, atau apapun namanya mesti akan berinteraksi dengan kaum laki-laki, bermusyawarah dengan mereka dalam beberapa perkara, bercampur baur dengan mereka, yang semua ini terlarang bagi kaum wanita. Wanita sifatnya kurang akal secara asal, sampai tidak bisa menikahkan dirinya sendiri (harus dengan wali, Red), maka jangan kepemimpinan diberikan kepadanya.
Imam al-Baghowi-radhiyallahu'anhu-berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin karena seorang pemimpin butuh untuk keluar seperti ketika akan mengkomandai jihad, mengurusi urusan kaum muslimin, sedangkan wanita adalah aurat, tidak boleh keluar. Dan wanita sendiri lemah dalam mengurusi segala kepentingan. Oleh karena wanita itu akalnya kurang sedangkan kepemimpinan adalah kekuasaan yang paling sempurna, maka tidak pantas dipegang kecuali oleh laki-laki yang sempurna” (Syarhus Sunnah: 10/77)3.

Majelis Syuro Dalam Pandangan Islam
Syuro atau musyawarah secara bahasa terambil dari kalimat: syaaro-yasyuuru-syauraa, yaitu apabila sebuah perkara dipaparkan kepada orang-orang terbaik hingga diketahui maksudnya. (Ahkam al-Qur'an kar. Ibnul Arabi: 4/66, Mishbah al-Munir kar. Al-Fuyumi hlm.125).
Secara istilah, musyawarah adalah tukar pikiran dan pendapat dalam suatu perkara dan urusan tertentu untuk kemudian digodok oleh orang-orang pilihan dan cerdas untuk mencapai hasil yang benar, dan keputusan yang tepat sesuai dengan aturan al-Qur'an dan as-Sunnah (asy-Syuro Fil Islam hal. 11).
Adapun dewan syuro, mereka adalah ahlul halli wal aqdi4. Dewan ini terdiri atas para ulama, ahli ijtihad, para pakar atau pimpinan manusia. Mereka adalah orang-orang yang akan menentukan dan memilih pemimpin tertinggi, yang mana daulat dan bai'at mereka kepada pemimpin yang terpilih mewajibkan seluruh umat untuk taat dan patuh kepada pemimpin ini. (Lihat al-Ahkam as-Sulthoniyyah kar. Al-Mawardi hlm. 35-ta'liq Kholid Abdul Lathif al-Alimi).

Hukum Wanita Jadi Anggota Parlemen
Terjadi silang pendapat di kalangan ulama tentang hukum wanita menjadi anggota dewan syuro atau yang kini lebih dikenal dengan nama parlemen. Ada yang membolehkan5 dan ada yang melarang. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa wanita tidak boleh menjadi anggota parlemen6 dengan argumentasi sebagai berikut:

Pertama:
Allah berfirman, yang artinya: 'Kaum laki-laki itu adalah pemimmpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, wanita yang sholih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada...' (QS. An-Nisa'[4]:34)
Yaitu seorang laki-laki adalah pemimpin wanita, laki-laki adalah pemimpin, ketua, hakim dan pendidik kaum wanita bila mereka bengkok. Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata: “yaitu laki-laki adalah pemimpin wanita, (maka) hendaknya wanita taat kepadanya dalam perkara yang ia perintahkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/293)

Kedua:
Allah juga berfirman yang artinya: 'Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu...' (QS. Al-Ahzab[33]: 33)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan segenap kaum wanita untuk tinggal dan tetap di dalam rumah, tidak boleh keluar kecuali karena kebutuhan.
Imam al-Juwaini berkata: “Para wanita hendaknya inggal di dalam rumah mereka, menyerahkan segenap urusan mereka kepada kaum laki-laki yang merupakan pemimpin bagi kaum wanita. Para wanita tidak terbiasa untuk mengatasi berbagai keadaan, janganlah mereka keluar dan tampil berdesakan dengan kaum laki-laki.Para wanita akalnya kurangdalam menetapkan perkara dan pendapatyang dibutuhkan.” (Ghiyatsul Umam hlm. 64 sebagaimana dalam at-Ta'amul al-Masyru' lil Mar'ah Ma'a ar-Rojul al-Ajnabi kar. Nabilah binti Zaid al-Halibah hlm. 297)

Ketiga:
Hadits Abu Bakroh radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wasalam bersabda: 'Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.' (HR. Bukhori: 4425)
Imam as-Syaukani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa wanita bukan orang yang pantas memimpin, tidak halal bagi sekelompok kaum untuk menyerahkan kepemimpinan kepada wanita, karena menjauhi perkara yang tidak membawa bahagia adalah wajib.” (Nailul Author: 8/304)
Imam ash-Shon'ani berkata: “Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyerahkan urusan kepada wanita dalam perkara yang berhubungan dengan hukum-hukum umum bagi kaum muslimin walaupun pembuat syariat telah menetapkan bahwa wanita adalah pemimpin di dalam rumah suaminya.” (Subulus Salam: 8/64)
Maka menjadikan wanita sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin negara, menteri, anggota parlemen atau di kantor-kantor yang mengurus urusan umat menyelisihi konteks nash hadits di atas. (Lihat at-Ta'amul al-Masyru' hlm. 297)

Keempat:
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam bersabda:
'Wahai sekalian wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar karena aku melihat bahwa kalian penghuni neraka yang paling banyak.' Ada seorang wanita yang bertanya: “Wahai Rasululah, apa sebabnya wanita menjadi penghuni neraka yang paling banyak?”. Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam menjawab: “Karena kalian banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suami. Dan tidaklah aku melihat kurangnya akal dan agama kecuali dari kalian.” Wanita tadi kembali bertanya: 'Wahai Rasulullah, apa maksud kurang akal dan agamanya?'. Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasalam menjawab: “Adapun kurang akalnya, bukankah persaksian dua orang wanita adalah sebanding dengan seorang laki-laki, inilah kekurangan akalnya. Dan wanita tidak sholat dan berbuka puasa ramadhan tatkala haid, inilah kekurangan agamanya.” (HR. al-Bukhari:298 dan Muslim: 132)
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam menyifati wanita kurang akal dan agamanya hingga dapat memperdaya seorang laki-laki yang cerdas, karena terpedaya, dia berkata dan mengerjakan perbuatan yang tidak pantas. Apabila seorang laki-laki yang cerdas saja bisa terpedaya karena wanita, maka selainnya lebih utama (lebih mudah untuk terpedaya, Red). (Lihat Fathul Bari: 1/484)
Tidak diragukan, orang yang mempunyai sifat semacam ini tidak pantas untuk duduk sebagai anggota dewan syuro. Perkara ini sangat bebahaya, karena dewan syuro-lah yang akan memilih pemimpin tertinggi. Apabila mereka telah mendaulat pemimpin terpilih, wajib bagi umat untuk patuh dan taat kepada pemimpin ini. Lalu apa jadinya kalau untuk memilih seorang pemimpin ini diikuti oleh orang-orang yang telah tersifati sebagai orang yang kurangakal dan agamanya??!
Imam Ibnul Arabi berkata: “Ini adalah keadilan dari Allah. Dia mengangkat dan merendahkan derajat siapa saja yang Dia kehendaki, (Dia) memuji dan mencela. Jangan tanya tentang perbuatan-Nya, bahkan mereka (makhluk)lah yang akan ditanya.Allah menciptaka para makhluk sesuai kedudukannya dan menempatkan mereka sesuai martabat yang Allah tentukan. Dia telah menjelaskan dan mengajarkannya kepada kita, kita hanya beriman dan pasrah menerima.” (Ahkam al-Qur'an: 1/284)

Kelima:
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam bersabda dalam sebuah hadits:
'Dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan anak-anaknya.' (HR.al-Bukhari: 5200 dan Muslim: 1829)
Andaikan seorang wanita ikut-ikutan sibuk bekerja seperti laki-laki padahal dirinya akan mengalami haid, hamil, melahirkan, dan punya kewajiban mendidik anak, sungguh wanita semacam ini telah keluar dari tabiat aslinya. Dengan bergaul dan berbaur dengan laki-laki akan rusak dan hancurlah aturan rumah tangga dan akan terlepaslah ikatannya. (Lihat al-Harokat an-Nisa'iyyah kar. Muhammad Atiyyah Khumais hlm. 56, at-Ta'amul al-Masyru' hlm. 301)

Keenam:
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam bersabda: 'Apabila amanat telah disia-siakan maka tunggulah hari kiamat.' Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk menyia-nyiakan amanat?”. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam menjawab: 'Apabila sebuah perkara sudah diserahkan kepada yang bukan ahlinya.' (HR. al-Bukhari: 6131)
Hadits ini sangat jelas maknanya, bahwa wanita bukan ahli untuk mengurus urusan yang umum-diantaranya menjadi anggota majelis syuro-, mereka bukanlah ahli untuk mengurus politik karena sifat kewanitaannya. Sebab itu, janganlah urusan majelis syuro diserahkan kepada wanita padahal ada yang lebih sempurna yaitu kaum laki-laki yang lebih tahu masalah politik. (Lihat al-Mar'ah wa Huququha as-Siyasiyyah Fil Islam kar. Majid Abu Hujair hlm. 501)

Ketujuh:
Perjalanan generasi pertama dari kalangan salaf telah membuktikan bahwa wanita tidak boleh ikut duduk dalam majelis syuro untuk memilih pemimpin. Diantara contohnya adalah peristiwa pemilihan Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu sepeninggal Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam. Setelah Rasulullah wafat, kaum Anshor berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah untuk pemilihan kholifah hingga terjadi perselisihan yang sangat hebat. Setelah itu, keluar keputusan untuk menetapkan Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu 'Anhu sebagai kholifah pengganti Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasalam. Beliau dibai'at dan didaulat sebagai kholifah resmi secara umum di masjid. Dalam kejadian ini, wanita tidak diikutsertakan dalam pemilihan pemimpin saat di Saqifah, sebagaimana para wanita tidak diundang dan tidak ikut serta pula dalam bai'at di masjid yang bersifat umum!! (Lihat Tarikh ath-Thabari 2/234)

Kedelapan:
Dalil secara akal, dewan syuro mempunyai kedudukan penting pada sebuah negeri, anggotanya akan merumuskan masalah-masalah penting atau masukan yang perlu dibahas. Mereka dituntut untuk hadir di aula rapat, saling berdampingan, saling berdialog dan berdiskusi satu sama lain. Kadangkala sampai perlu melanjutkan rapat di luar majelis dengan orang-orang tertentu, tentunya ini menuntut untuk keluar rumah, bahkan sampai keluar kota!! Profesi semacam ini, akan mengajak wanita keluar menemui banyak manusia, saling berkumpul dengan lawan jenis, safar seorang diri tanpa mahram dan sebagainya dari perkara-perkara yang tidak halal dikerjakan oleh seorang wanita muslimah bagaimanapun keadaannya!! (at-Ta'amul al-Masyru' hlm. 304)

Kesembilan:
Maksud menjadi anggota parlemen adalah agar para wanita punya peranan dalam urusan kaum muslimin. Memberikan sumbangsih yang bermanfaat kepada umat. Akan tetapi, maksud baik semacam ini tidak boleh menghalalkan wanita untuk duduk di dewan majelis, karena kewajiban semacam ini hukumnya fardhu kifayah yang sudah terwakili oleh kaum lelaki. Apakah para wanita akan meninggalkan kewajiban yang sifatnya fardhu 'ain berupa mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan melayani suami kemudian beralih pada kewajiban yang fardhu kifayah??

Kesepuluh:
Dalam sebuah kaidah yang telah mapan disebutkan bahwa membendung kerusakan merupakan langkah yang harus ditempuh dalam agama ini. Lantas, apakah kita akan membiarkan wanita muslimah rusak dengan seringnya mereka keluar rumah, meninggalkan kewajiban rumah tangga, ikhtilath (berbaur) dan kholwat (berduaan) dengan lawan jenis dan kemungkaran lainnya hanya karena ingin meraih manfaat suara dan pendapat mereka di majelis syuro yang belum jelas manfaatnya??

Jelaslah, berdasarkan argumen diatas, wanita tidak boleh duduk dan ikut serta dalam keanggotaan dewan syuro atau parlemen7 , apalagi sampai menjadi seorang pemimpin yang tentu lebih jelas lagi keharamannya. Allohu A'lam.

1 Hasyiyah Ibnu Abidin: 2/280, al-Mughni:2/2509, Adhwaul Bayan: 1/26
2 Ma'atsir al-Inafah Fi Ma'alim al-Khilafah: 1/31-39, al-Qolqosyandi, sebagaimana dalam ta'liq (catatan kaki) Ahkam Sulthoniyyah kar. Al-Mawardi hlm. 31
3 Lihat pula tulisan Akhuna al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi yang berjudul 'Polemik Presiden Wanita' dalam Majalah AL FURQON Edisi-5 th ke 3 1425 H
4 Ahlul halli wal aqdi adalah semacam dewanyang menentukan undang-undang yang mengatur urusan kaum muslimin, politik, manajemen, pembuatan undang-undang, kehakiman, dan semisalnya. Semua hal tersebut suatu saat bisa direvisi lagi dan disusun yang baru. (Lihat kitab Ahlul Halli wal Aqdi, Shifatuhum wa Wazhoifuhum kar. Dr. Abdulloh bin Ibrahim ath-Thoriqi, Robithoh 'Alam al-Islami, Majalah AL FURQON Edisi 7 th ke-3 1425 H)
5 Diantara mereka adalah Syaikh Muhammad Syaltut dalam kitabnya Hadyul Qur'an hlm. 292, Muhammad as-Siba'i dalam al-Mar'ahBaina al-Figh wal Qonun hlm. 155, dan Syaikh Yusuf al-Qordhowi dalam Fatawa Mu'ashiroh: 2/382
6 Inilah keputusan yang telah ditetapkan oleh Lajnah Fatwa Kibar Ulama Azhar dan sekelompok ahli ilmu dewasa ini. (Huquq al-Mar'ah kar. Dr. Nawwal binti Abdul Aziz al-Id hlm. 565)
7 Untuk memperluas pembahasan ini silahkan lihat al-Mufashol Fi Ahkam al-Mar'ah kar. Dr. Abdul Karim Zaidan: 4/332-334, Huquq al-Mar'ah Fi Dhou'i as-Sunnah an-Nabawiyyah kar. Dr. Nawwal binti Abdul Aziz al-Id hlm. 551-574, at-Ta'amul al-Mayru' lil Mar'ah Ma'a ar-Rojul al-Ajnabi Fi Dhou'i as-Sunnah kar. Nabilah binti Zaid al-Halibah hlm. 291-309


Sumber: Majalah AL FURQON Edisi 09 th ke-8 1430 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar